I've been wanting to post this in here for a while now and now I'll post it here now yaaay~!
Anyway, a year or two years ago I've been writing a series of fiction stories about the colonialism in Indonesia. I planned to post the Netherlands one first as in this was the first story but-- I kinda forgot how the stories goes. And so, I post the sequel here first before the first one... I know it's mixed up but I can't do much about it-- I've lost the script and I am re-writing it again.
Well, to you who could read in Bahasa, go ahead and read!
By the way, quick link of download below if you want to download it.
Anyway, a year or two years ago I've been writing a series of fiction stories about the colonialism in Indonesia. I planned to post the Netherlands one first as in this was the first story but-- I kinda forgot how the stories goes. And so, I post the sequel here first before the first one... I know it's mixed up but I can't do much about it-- I've lost the script and I am re-writing it again.
Well, to you who could read in Bahasa, go ahead and read!
By the way, quick link of download below if you want to download it.
perasaan_dua_bangsa.docx |
Perasaan Dua Bangsa
Maralaine Dee
Pada tahun 1941, suatu pagi di sebuah desa damai yang terletak di Pulau Jawa, Indonesia terdengar hiruk pikuk penduduk yang meramaikan suasana bahkan sebelum matahari muncul dari ufuk timur. Di sebuah rumah yang dapat dikatakan cukup sederhana, seorang gadis pribumi berparas cantik nan lembut terlihat sedang membantu seorang wanita paruh baya yang merupakan ibunya mempersiapkan rantang berisikan makanan dan membereskan rumahnya.
“Lastri, bapak pergi ke sawah dulu ya,” pamit seorang pria paruh baya dari ambang pintu rumah. “Ibu, ayo cepat, nanti kalau terlalu siang bisa-bisa panas,” lanjut pria itu, memanggil ibu Lastri.
“Ya, sebentar, pak,” ujar ibu Lastri sambil mencuci tangan. “Lastri, nanti tolong bawakan rantang ini dan teko minuman ke sawah setelah kamu membereskan rumah ya,” ujar ibu meminta tolong sebelum akhirnya berangkat ke sawah bersama bapak.
Lastri Utami--nama lengkap dari gadis itu--pun menyelesaikan pekerjaannya; memasak makanan untuk orang tuanya nanti dan melanjutkan pekerjaan rumah lainnya, seperti mencuci baju, menyapu, mengepel, dan menyetrika. Kurang lebih dua jam kemudian, dirinya telah menyelesaikan semua pekerjaannya dan berangkat ke sawah untuk mengantarkan rantang makanannya. Lalu, di tengah jalan, Lastri melihat kepala desa berjalan bersama dengan sekelompok orang yang terlihat asing. Orang-orang itu memakai mantel dan topi yang serba hitam. Walaupun gadis itu bertanya-tanya pada dirinya tentang identitas mereka, namun ia tidak berani untuk menyapa kepala desa dan menanyakannya. Oleh karena itu, ketika Lastri dan kelompok itu berjalan berpapasan, ia hanya berani menoleh secara diam-diam untuk melihat wajah mereka.
Tak disangka, pada saat yang bersamaan seorang pemuda bermata sipit dan berkulit putih yang merupakan bagian dari kelompok itu juga sedang menoleh ke arahnya. Mata coklat khas Indonesia milik Lastri bertemu dengan mata pemuda itu yang sipit dan juga berwarna coklat, namun lebih jernih dari miliknya. Jernih sekali warna matanya, sejernih warna air teh melati, pikir Lastri, terkesima dengan warna mata pemuda itu. Rambut coklat kayu manis miliknya terlihat terpotong dan tertata rapi di dalam topi hitam yang dikenakannya. Gadis itu terpaku ditempat menatapi pemuda itu sebelum akhirnya tersadar dan kemudian cepat-cepat mengalihkan pandangannya serta mempercepat langkahnya menjauhi kelompok itu.
Entah mengapa, jantungnya berdegup dengan tidak teratur setelah melihat pemuda itu. Ia tetap melangkahkan kakinya dengan cepat dan tak menghiraukan sekelilingnya. Dirinya terlalu sibuk menenangkan perasaannya sampai tak sadar bahwa ada seseorang yang telah memanggil-manggilnya sejak tadi.
“Hai Lastri!” Sebuah tangan meraih tangan Lastri. “Aku memanggilmu sejak tadi!”
Lastri berhenti dan menoleh ke arah suara itu. “E-eh, ah, Rangga, a-ada apa?” tanyanya kikuk.
Pemuda itu menghela nafas. “Aku memanggil-manggil namamu sejak tadi, kau tahu,” balas Rangga heran. “Kau ini, mengapa kau terlihat sangat gugup sekali di pagi hari seperti ini? Tidak seperti dirimu saja,” lanjut Rangga.
“E-eh? Benarkah?” tanya Lastri, antara bingung dan masih kikuk.
“Ya, Lastri, kau itu adalah sahabatku, jadi tidak mungkin aku tidak menyadari saat dirimu tidak bersikap seperti biasanya. Oh ya, kau mau ke sawah, bukan?” Rangga menunjuk ke arah rantang yang dibawa Lastri. “Kebetulan sekali, aku juga mau ke sawah orang tuaku. Mari kesana bersama!” ajak Rangga. Sawah orang tua Lastri dan Rangga bersebelahan. Oleh karena itu, gadis itu menyetujuinya dan akhirnya mereka pun berjalan ke sawah bersama-sama.
“Hei Lastri, mengapa hari ini kau tampak tidak seperti biasanya? Ceritakanlah padaku jika kau ada masalah, aku akan mendengarkanmu,” ujar Rangga membuka percakapan kembali. Ada sedikit nada khawatir yang dapat terdengar dari suara Rangga.
“Eh? Bukan sesuatu yang serius kok,” elak Lastri.
“Ayolah Lastri, kita sudah bersahabat sejak kecil, jadi janganlah kau menyimpan rahasia sendiri,” bujuk Rangga. Memang, Rangga merupakan sahabat Lastri sejak kecil, dimana mereka berdua akan saling membantu dan akan selalu bersama di setiap saat, jadi tidak heran bukan bila mereka terlihat sangat dekat. Selain itu, faktor yang menyebabkan kedekatan mereka adalah mereka yang sama-sama anak tunggal. Oleh karena itu, mereka sudah merasa seperti saudara sendiri terhadap satu sama lain.
Lastri menghela nafas. “Baiklah, aku akan menceritakannya.” Kemudian gadis itu menceritakan apa yang baru saja ia lihat; kepala desa yang berjalan bersama sekelompok orang asing serta seorang pemuda bermata coklat jernih sipit yang bertatapan dengannya dan menarik perhatiannya.
“Hm, sekelompok orang asing dan seorang pemuda bermata sipit, ya,” ucap Rangga.
“Ya, itu yang baru saja kulihat sebelum kau menghampiriku. Rangga, tahukah kau siapa mereka? Kupikir mungkin saja kau mengetahuinya karena kau adalah putra dari kepala desa,” tanya Lastri kemudian.
“Hmm… coba kuingat. Kemarin, ayah memang berkata bahwa akan ada yang mendatangi desa ini, namun ia tidak berkata siapa,” jawab Rangga. “Oh, mungkin orang-orang yang baru saja kau lihat itu mereka,” lanjut Rangga mengambil kesimpulan. “Yah, aku tak tahu pasti siapa mereka sebenarnya. Ah, bagaimana jika nanti kau ke rumahku saja sehabis dari sawah? Mungkin mereka masih berada di rumahku.”
“Oh, bolehkah?” tanya Lastri.
“Tentu saja, kau penasaran bukan terhadap mereka?”
“Ya, aku sangat penasaran. Terima kasih, Rangga,” ujar Lastri sambil tersenyum bersemangat. Melihat senyum gadis itu Rangga pun ikut tersenyum senang.
***
Sore harinya setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di sawah, Lastri pun berpamitan dengan petani lain untuk pulang bersama ibunya. Bapak Lastri sudah pulang lebih dahulu karena kepala desa memanggil pria paruh baya ini untuk ikut bersamanya. Sebelum gadis itu pergi meninggalkan area persawahan, Rangga menghampirinya untuk menanyakan apakah ia jadi untuk ke rumah pemuda itu guna melihat para orang asing tadi. Lastri menggangguk dan berkata ia akan pulang untuk membersihkan diri dahulu sebelum pergi. Kemudian Rangga berkata ia akan menjemputnya nanti dan mereka berdua pun pulang ke rumah masing-masing.
Saat Lastri dan ibunya berada di depan pintu masuk rumah, mereka dapat mendengar bapak sedang berbicara menggunakan bahasa asing yang sama sekali tidak bisa dimengerti oleh Lastri. Dengan penasaran, ibu dan anak ini pun masuk ke dalam rumah dan mendapati bapak sedang berbincang bersama seorang pemuda asing berkulit putih yang mempunyai badan khas tentara umumnya dengan tinggi sekitar 170 cm.
“Bapak, kami pulang,” ucap ibu Lastri saat bapak melihat mereka.
“Selamat datang,” sapa bapak dengan senyum. Saat bapak menyapa Lastri dan ibunya, pemuda yang sedang berbincang dengannya pun ikut menoleh ke arah mereka dan mata Lastri bertemu dengan mata pemuda itu. Mata pemuda itu berwarna coklat jernih, seperti pemuda yang ia temui tadi pagi. Melihatnya, gadis itu pun kaget dan jantungnya kembali berdegup tak karuan. ‘Sepertinya ia adalah pemuda yang berapapasan denganku tadi…’ gumamnya dalam hati sambil mencoba menyembunyikan kekagetannya.
“Ibu, Lastri, tolong buatkan minum untuk tamu kita,” pinta bapak. Kemudian ibu dan anak ini langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sang tamu minum.
“Karera wa dare desu ka, Adi-san? — Siapakah mereka itu, Pak Adi?” tanya pemuda itu sambil memperhatikan Lastri dan ibunya yang sedang berada di dapur.
“Aa, karera wa watashi no tsuma to musume desu, Tadashi-san. — Ah, mereka adalah istri dan putri saya, Tuan Tadashi,” jawab bapak.
“Aa, sou desu ka. — Ah, begitu ya,” balas pemuda itu, Tadashi Hiroshi, dengan singkat. Ia belum mengalihkan pandangannya dari Lastri dan ibunya—lebih tepatnya dari Lastri sejak tadi. Tadashi menyadari bahwa Lastri adalah gadis yang berpapasan dengannya tadi pagi dan entah untuk alasan apa, pemuda itu merasa sangat tertarik padanya. Beberapa saat kemudian, Lastri pun menghampiri mereka dan menyuguhkan dua gelas teh manis hangat dan sepiring kue basah tradisional.
“Saa, jibun de jitaku de kakuninshite kudasai, Tadashi-san. — Nah, silahkan anggap rumah sendiri, Tuan Tadashi,” ujar bapak mempersilahkan.
“Arigatou gozaimasu, Adi-san. Aa, amarini mo anata no okage de, ojou-san. — Terima kasih, Pak Adi. Ah, terima kasih juga kepada anda, nona,” balas Tadashi sambil tersenyum ke arah Lastri dan meminum tehnya. “Aa, tokoronde, hajimemashite, ojou-san. Watashi no namae wa Tadashi Hiroshi-desu. Dare ga anata wa ojou-san no desu ka? — Ah, ngomong-ngomong, salam kenal, nona. Nama saya adalah Tadashi Hiroshi. Siapakah nama anda, nona?” tanya pemuda itu kepada Lastri.
Lastri bingung bagaimana cara menjawab kalimat Tadashi. Ia tidak pernah sekalipun mempelajari bahasa yang digunakan pemuda itu. Akhirnya bapak angkat bicara setelah gadis itu terdiam dan terlihat bingung. “Lastri, pemuda ini bernama Tadashi Hiroshi. Ia berumur 24 tahun dan dirinya berasal dari Nippon (*Jepang). Ia akan tinggal disini karena suatu keperluan, mungkin dalam waktu lama. Lalu, Tadashi baru saja menanyakan namamu, nak,” ujar bapak menjadi penerjemah Tadashi.
“Oh, ah, err, nama saya Lastri Utami dan, uhh, anda bisa memanggil saya Lastri,” jawab Lastri, tidak yakin bahwa Tadashi dapat mengerti apa yang ia ucapkan.
Tadashi terlihat sedang berpikir, mencerna kata-kata yang baru diucapkan Lastri. “Aa, Rasuteri-san no desu ka? — Ah, Nona Lastri ya?” tanya pemuda itu, mengerti apa yang dikatakan Lastri.
Lastri menggangguk. “Ya, Lastri. Nama saya Lastri,” ujar Lastri sekali lagi sambil menunjuk dirinya.
“Hai, yoroshiku onegaishimasu, Rasuteri-san. — Ya, senang berkenalan dengan anda, Nona Lastri,” balasnya sambil mengulurkan tangannya dan Lastri menjabatnya sambil tersenyum ramah.
“Ibu, kemari sebentar,” panggil bapak dan beberapa saat kemudian ibu Lastri datang. “Tadashi-san, kore wa watashi no tsuma desu — Tuan Tadashi, ini istri saya,” ujar bapak memperkenalkan ibu.
Tadashi mengalihkan pandangannya ke ibu Lastri. “Anata wa Adi-san no tsuma dearu? — Apakah kau istri Pak Adi?” tanyanya.
“Hai, watashi no namae wa Amaria Rena desu ga, anata wa watashi ni Rena o yobidasu koto ga dekimasu. — Ya, nama saya adalah Amalia Lena, namun anda dapat memanggil saya Lena,” ujar ibu Lastri sambil tersenyum. “Yoroshiku onegaishimasu, Tadashi-san. — Senang berkenalan dengan anda, Tadashi-san.”
“Sou desu ka. Hai, amarini mo yoroshiku onegaishimasu, Rena-san. — Begitu ya. Baiklah, senang berkenalan dengan anda juga, bu Lena,” ucap Tadashi sambil berjabat tangan dengan ibu Lastri.
“Ah, ngomong-ngomong, Lastri, sebelum ini Tadashi-san berkata pada bapak bahwa ia ingin berkeliling desa sebelum matahari terbenam. Bisakah kau mengantarnya?” tanya bapak. “Ah ya, bapak harus mengingatkanmu, jangan lupa menambahkan kata –san di akhiran nama Tadashi ya, itu untuk kesopanan,” tambahnya.
“Oh, baiklah, pak. Err, aku bersedia pak, namun aku tidak mengerti bahasa yang dikatakan Tadashi-san. Nanti akan susah berkomunikasi bila aku yang mengantarnya…”
“Hmm, benar juga… Oh ya! Etto, Tadashi-san—“ Bapak bertanya sesuatu kepada Tadashi. Pemuda itu mengangguk, sepertinya ia menyetujui hal yang baru saja dikatakan pria paruh baya itu. “Nah, Lastri, Tadashi-san berkata bahwa ia tak apa bila kau memakai bahasa isyarat.”
“Bahasa isyarat?” Lastri terlihat menimbang-nimbang pilihan bapak. “Kurasa… aku bisa sedikit-sedikit. Baiklah aku mau menemani Tadashi-san berkeliling. Ah, tapi aku harus membersihkan diri dahulu. Tunggu sebentar ya,” ujar Lastri. “Ah, ibu, nanti jika Rangga datang kesini tolong katakan besok saja aku pergi ke rumahnya,” tambahnya dan kemudian ia pergi ke kamar mandi untuk mandi.
Sekitar setengah jam kemudian, Lastri selesai mandi dan kembali ke ruang tamu. “Bapak, aku sudah selesai,” ujar Lastri seperti melapor kepada bapaknya.
“Tadashi-san, Rasuteri-san wa o furo ni haitte shuuryou shita. — Tuan Tadashi, Lastri telah selesai mandi,” ujar bapak menyampaikan kembali ke Tadashi.
“Sore wa sou desu ka? Yoi kotoda, hai ikimashou. — Begitukah? Baguslah, mari kita pergi,” ujar pemuda itu sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Selamat sore dan permisi,” ujar sebuah suara dari depan pintu begitu Lastri akan berangkat meninggalkan rumah. “Lastri, kau ada di dalam?”
“Oh, Rangga? Tunggu sebentar. Err…” Lastri menoleh ke arah Tadashi. “Um, Tadashi-san, maukah-anda-menunggu-saya-sebentar?” tanya Lastri disertai dengan gerakan isyarat yang seharusnya selaras dengan apa yang dikatakannya, namun gagal. Tadashi menggeleng tidak mengerti dan mengikuti Lastri membukakan pintu untuk Rangga.
“Hei, Lastri, jadikah kau untuk— eh?” Kalimat Rangga terputus begitu melihat Tadashi berdiri disebelah Lastri. “Ah, selamat sore,” sapa Rangga dengan senyum. “Lastri, dia siapa?” tanyanya penasaran.
“Rangga, ini pemuda yang kukatakan berpapasan denganku tadi pagi. Namanya Tadashi Hiroshi dan ia berasal dari Nippon. Oleh karena itu, dirinya tak bisa berbicara bahasa kita,” jawab Lastri mengenalkan Tadashi.
“Sore de, anata wa dare ni naru no desu ka? — Dan, siapakah gerangan anda?” tanya Tadashi kepada Rangga.
“Aa, watashi no namae wa Rangga Putera desu ga, Rangga o yobidasu koto ga dekimasu, hajimemashite, Tadashi-san. Watashi wa Rasuteri-san no yuujin desu. Yoroshiku onegaishimasu. — Ah, nama saya Rangga Putra, anda dapat memanggil saya Rangga, salam kenal, Tadashi. Saya adalah teman Lastri. Senang berkenalan dengan anda,” balas Rangga memperkenalkan dirinya. Kemudian Tadashi dan Rangga pun saling berjabat tangan.
Lastri terbengong. “Tunggu, kau bisa berbahasa Nippon? Sejak kapan?” tanya Lastri tak percaya.
“Yah, aku tahu memang sulit dipercaya namun aku memang bisa sedikit-sedikit. Aku pernah mempelajarinya sebentar. Ngomong-ngomong, apakah kalian mau keluar? Anata-tachi wa soto ni iku no desu ka?” tanya Rangga ke Lastri dan Tadashi.
“Ya, bapak menyuruhku mengantarkan Tadashi-san berkeliling desa. Kau mau ikut, Rangga? Dengan adanya kau disini komunikasi akan lebih mudah,” ucap Lastri.
“Bolehkah aku ikut? Watashi ga kuru koto ga dekiru?”
“Mochiron! Ikimashou. — Tentu saja! Mari pergi,” jawab Tadashi.
“Baiklah. Ibu, bapak, kami pergi sebentar,” pamit Lastri sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah.
***
Hari demi hari pun berlalu. Seperti yang telah bapak Lastri katakan sebelumnya, Tadashi memang tinggal di rumah mereka dalam waktu cukup lama. Lastri dan Rangga sudah terbiasa dengan keberadaan pemuda itu. Terutama Lastri, gadis itu pun sudah bisa menggunakan bahasa isyarat untuk menggambarkan dengan benar apa yang ingin ia katakan pada Tadashi. Dibantu Rangga, dirinya pun mempelajari bahasa yang diucapkan Tadashi sedikit demi sedikit. Tadashi pun tak mau kalah ikut mempelajari bahasa mereka. Sesekali, para tamu bermantel dan bertopi hitam yang Lastri lihat berjalan bersama pemuda itu pada awal pertemuan mereka pun datang mengunjungi Tadashi. Kemudian mereka pasti akan langsung membicarakan sesuatu yang tidak dapat dimengerti oleh siapapun begitu bertemu.
Tinggal lama membuat Tadashi terlihat seperti sudah terbiasa dengan kehidupan di desa itu. Sesekali ia pun membantu pekerjaan ibu dan bapak Lastri di sawah. Menurut Lastri, pemuda ini pun terlihat lebih bersahabat dibandingkan ketika mereka baru pertama bertemu, dimana senyum yang ia pasang terlihat seperti senyum untuk kesopanan saja. Sekarang Tadashi menjadi lebih ramah dan semua orang menyukainya.
Satu hal yang tidak orang ketahui tentang dirinya; sebetulnya Tadashi adalah pemimpin dari kelompok perencana penjajahan Nippon yang sedang menyusun taktik untuk mengambil alih Indonesia dari Netherland (*Belanda) yang sedang memimpin saat itu. Ia datang ke desa ini guna menyelidiki sifat dan kemampuan bertarung dari para penduduknya serta hal-hal yang dapat dimanfaatkan oleh Nippon saat daerah ini sudah jatuh ke tangan mereka.
Orang-orang bermantel dan bertopi hitam yang datang bersama Tadashi pun merupakan bagian dari pasukan penyelidik Nippon. Mereka adalah bawahan pemuda itu; Kenpeitai (*polisi khusus) yang dibentuk Nippon untuk memperlancar penyelidikan Tadashi di Indonesia. Ternyata, diam-diam perasaan cinta terhadap Indonesia tumbuh di dalam Tadashi. Mulai dari keadaan alam tanah air, sifat dan sikap penduduknya, pemuda itu mulai mencintai semua itu. Terutama Lastri, perasaan cinta Tadashi terhadap gadis itu mulai bersemayam di hatinya, entah sejak kapan. Namun ia tidak berani menyatakannya oleh karena ia tidak ingin Lastri mengetahui siapa sebenarnya dirinya dan terbunuh karenanya.
Sebenarnya, Lastri juga memendam perasaan yang sama terhadap Tadashi. Jantungnya berdetak makin kencang saat pemuda itu berada di dekatnya. Gadis itu juga makin tak sanggup untuk melihat pemuda berambut coklat muda itu secara langsung dengan matanya. Lastri juga makin canggung dan makin susah berkata-kata ketika Tadashi bersamanya. Tentu saja Rangga menyadari hal ini dan sesungguhnya ia tidak menyukainya sedikit pun. Ternyata, diam-diam pemuda yang merupakan teman kecil gadis itu telah menyimpan perasaan padanya sejak dahulu.
Ketika ia mengetahui bahwa Lastri menyukai Tadashi, hatinya remuk seketika. Ia sempat tidak menunjukkan batang hidungnya selama beberapa hari sampai membuat Lastri khawatir dan akhirnya mengunjunginya bersama Tadashi. Dirumahnya itulah, saat sang pemuda Nippon sedang berada diluar, Rangga menyatakan perasaannya pada Lastri. Seperti yang sudah ia perkirakan, Lastri pun menolaknya. Mendengar ini pemuda itu hanya tersenyum dan bertanya apakah mereka masih dapat menjadi teman, lalu Lastri pun menjawab mereka akan mejadi sahabat selamanya. Secara tak sengaja, Tadashi mendengar perbincangan mereka saat akan masuk ke dalam rumah Rangga. Walaupun ia tidak terlalu mahir berbicara bahasa mereka, namun ia mengerti apa yang Lastri katakan dan hal ini membuatnya senang bukan main. Namun ia harus memendam perasaannya sebaik mungkin. Hal ini demi kebaikan Lastri juga.
Kembali ke negara asal Tadashi, Nippon, mereka tidak puas dengan kerja Tadashi yang mulai enggan membicarakan rencana-rencana pengambilalihan dan melapor hasil penyelidikannya. Mereka berasumsi pemuda itu mulai kehilangan keinginan untuk mengambil alih dan menjajah Indonesia karena mendapat pengaruh dari para penduduk Indonesia. Akhirnya, beberapa petinggi militer Nippon yang selalu memantau kerja Tadashi pergi meninggalkan negaranya dan datang ke Indonesia, mendatangi desa tempat penyelidikan pemuda itu. Mereka bertanya kepada kepala desa dimana Tadashi tinggal dan akhirnya mereka mendapati Tadashi sedang berbincang dengan Lastri di teras rumah.
“Tadashi Hiroshi-san!” seru salah satu dari mereka.
Tadashi menoleh karena mendengar namanya dipanggil oleh suara familiar dan ia pun kaget. Secepatnya ia menghampiri mereka dan melakukan saikerei (*membungkuk menghadap matahari terbit). “Fukuyama-ippan? Hidetoshi-taishou? Kageyama-gunshou? Watashi wa anata ga koko ni iru nani no bijinesu o motomeru koto ga dekiru? — Jendral Fukuyama? Laksamana Hidetoshi? Sersan Kageyama? Boleh saya bertanya alasan mengapa anda semua ada disini?” tanya Tadashi sopan.
“Anata! Anata wa sono you na jimoto no onna noko to oshaberi o nani o shite iru! Anata wa koko de okonau koto ni natte iru no ka oboete inai?! — Kau! Apa yang kau lakukan berbincang dengan gadis pribumi seperti itu! Tidakkah kau ingat apa yang seharusnya kau lakukan disini?!” bentak salah satu dari mereka, Laksamana Hidetoshi.
“Hai, oboete imasu. Shikashi, anata wa wareware ga kore o okonau koto ni natte inai koto to wa omowanai? — Ya, saya ingat. Namun, tidakkah anda berfikir bahwa kita tidak seharusnya melakukan hal ini?” ujar Tadashi lagi.
“Nan nansensu ni tsuite ohanashi shite iru! Wareware wa kono kuni kara dekiru dake hayaku nezaarando o torinozoku tame ni hitsuyou ga aru! — Omong kosong apa yang kau bicarakan?! Kita harus merebut negara ini dari Belanda!” bentak salah satu dari mereka lainnya, Jendral Fukuyama.
Kemudian Tadashi kembali mengelak setiap kali dipaksa untuk melanjutkan penyelidikannya. “Anata wa mou watashi-tachi ni kyouryoku shitakunai baai wa hijou ni yoku, sore wa daijoubu desu. Shikashi, kore o oboete, wareware wa koko ni anata no saiai no mono no anzen-sei o hoshou suru monode wa arimasen. — Baiklah, bila kau sudah tidak ingin bekerja sama dengan kami lagi, tak apa-apa. Namun, kami tidak dapat menjamin keselamatan orang-orang yang kau kasihi disini,” ancam orang ketiga dari mereka, Sersan Kageyama. “Tokuni, kanojo ni mukete — Terutama, terhadapnya.” Pria itu mengarahkan telujuknya ke belakang; ke arah Lastri seraya berkata demikian. “Sore o oboete iru, Tadashi-san — Ingatlah itu, Tadashi.” Kageyama mengultimatum Tadashi sebelum akhirnya mereka bertiga pergi dari tempat itu.
***
Tadashi bimbang mendengar ultimatum dari para seniornya itu. Ia memang ditugasi untuk menyelidiki Indonesia namun dirinya tak pernah menyangka bahwa ia akan jatuh cinta kepada bangsa yang akan dikuasai oleh negaranya. Sekarang, cintanya kepada Indonesia sudah lebih besar daripada cintanya terhadap Nippon, namun pemuda itu tetap menaruh hormat besar pada negaranya. Selain itu, ia tidak ingin tanah airnya menguasai dan bertikai dengan Indonesia yang sudah ia anggap sebagai tanah airnya yang kedua. Akhirnya, setelah berfikir berhari-hari, Tadashi pun bertekad dengan kuat untuk memihak pada Indonesia guna mencegah penguasaan terjadi.
Tadashi mengumpulkan pasukan yang bisa ia dapatkan dan menginformasikan semua yang ia tahu kepada warga desa dengan dibantu oleh kepala desa yang sudah diberi tahu lebih dahulu olehnya. Pada awalnya semua warga desa marah besar setelah mendengar perkataan pemuda itu, namun amarah mereka pun cepat reda, digantikan dengan tekad untuk menghentikan rencana Nippon. Sebelum Tadashi memberitahu warga, orang pertama yang ia beritahu tentang semuanya adalah Lastri. Gadis itu hanya tersenyum saat mengetahuinya dan berkata, ‘Janganlah kau mati lebih dulu daripadaku’ sambil menyemangati Tadashi untuk melaksanakan rencananya. Disaat itulah, Tadashi memberanikan dirinya untuk menyatakan perasaannya terhadap Lastri. Mendengar pengakuan Tadashi, gadis itu terkejut bercampur dengan perasaan bahagia bukan main.
“Kono subete ga owattanode, watashi to kekkon suru. — Menikahlah denganku begitu semua ini berakhir,” ujar Tadashi melamar Lastri. Gadis itu mencoba mencerna kata-kata Tadashi dan kaget bukan main ketika mengetahui maksudnya. Spontan ia memeluk pemuda itu dan menerima lamarannya dengan perasaan sangat bahagia.
Di sisi lain, pihak Nippon yang telah memasang mata-mata di desa itu tahu akan rencana yang dibuat mantan pemimpin penyelidikan negara mereka itu. Tentu saja, setelah mendengar hal ini mereka marah besar. Tiga petinggi militer Nippon yang masih berada di Indonesia, Jendral Fukuyama, Laksamana Hidetoshi, dan Sersan Kageyama pun mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan desa itu bersama orang-orangnya di dalamnya.
Pertempuran yang terjadi sangatlah sengit namun tidak berimbang, karena persenjataan yang dimiliki pasukan pihak Nippon lebih lengkap, lebih canggih, dan lebih banyak dibandingkan dengan milik tanah air. Tak makan cukup waktu yang lama, pihak Nippon terlihat seperti sudah memegang kemenangan di tangan mereka.
“Heishi-tachi wa, hi o tomeru! — Semua pasukan, berhenti bertempur!” perintah sebuah suara dari pihak Nippon. Semua orang yang mendengar suara itu berhenti bertempur dan mencari-cari asalnya. “Minna-sama, kitte kudasai! — Semuanya, tolong dengarkan!” Kemudian Hidetoshi menampakkan dirinya dari belakang pihak Nippon. “Watashi-tachi wa anata no subete no tame no teian o motte iru. Wareware wa hitotsu no jouken de wa, kono fu kin itsuna sentou o teishi shimasu. — Kami mempunyai sebuah penawaran untuk kalian. Kami akan menghentikan perang yang tidak seimbang ini dengan satu syarat.” Hidetoshi terdiam sebentar. “Tadashi-san wa watashi-tachi ni jibun jishin o houki suru hitsuyou ga arimasu! — Tadashi harus menyerahkan dirinya kepada kami!”
Semua orang yang mengerti apa yang mereka katakan menjadi heboh. Tadashi yang sejak tadi menyusun strategi agar mereka menang dengan ditemani Lastri kembali bimbang untuk kedua kalinya. Sudah jatuh banyak korban dari pihak Indonesia, jadi tidak mungkin mereka dapat memenangkan pertempuran ini. Dengan berat hati, pemuda itu harus menyerahkan dirinya kepada pihak Nippon. Lastri melarangnya dan ia hanya membalas larangan gadis itu dengan senyuman pahit serta satu kecupan di dahinya sebelum akhirnya melangkahkan kakinya ke arah pihak Nippon. Lastri yang mengejar Tadashi dihentikan oleh tentara yang berjaga di depan barisan para petinggi militer.
“Watashi wa koko ni imasu. — Saya sudah disini,” ucap Tadashi dengan lantang dan dibuat sesantainya saat berada tepat di depan para petinggi militer Nippon. “Anata-tachi wa watashi kara nani ga hitsuyou na no deshou ka? — Apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya pemuda itu.
Kemudian Fukuyama melemparkan sebilah samurai yang masih tertutup sarung kepada Tadashi. “Sore o jibun de korosu. — Bunuhlah dirimu dengan itu,” ujarnya singkat. Tadashi terdiam, ia hanya menatap samurai itu lekat-lekat.
“Anata wa ikiru ni ataishimasen! Anata wa watashi-tachi no kuni no goukei haji desu! — Kau tak pantas untuk hidup! Kau adalah aib terbesar negara kita!” tambah Kageyama.
“Ima harakiri o okonau. Tanin no tame ni jibun no jinsei o gisei ni suru. — Lakukan harakiri (*bunuh diri ala samurai Jepang). Korbankanlah nyawamu untuk menyelamatkan nyawa orang lain,” perintah Hidetoshi.
Tadashi masih terdiam. “Ii, watashi wa harakiri o suru tsumori desu. Shikashi, anata wa mada ikite iru to, karera ga heiwa no uchi ni seizon sa se, hitobito o tebanasu koto o yakusoku shinakereba naranai. — Baiklah aku akan melakukan harakiri. Namun, kalian harus berjanji akan melepaskan warga yang masih hidup dan membiarkan mereka hidup dengan tenang,” ujar Tadashi, membuat satu permintaan terakhir.
“Sore wa watashi-tachi no tame ni sasaina mondai desu. — Hal itu adalah masalah sepele untuk kami,” balas Fukuyama.
Tadashi tersenyum dan kemudian berbalik arah terhadap Lastri. “Rasuteri-san, gomennasai ne. Sore wa watashi no yakusoku wa eien ni anata to issho ni tamotsu koto ga dekinai you desu. — Lastri, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa menepati janjiku untuk bersamamu selamanya,” ucap Tadashi dengan senyuman pahit pada Lastri.
“Tadashi-san, mo shinaide kudasai! — Tadashi, kumohon jangan lakukan!” seru Lastri dengan air mata yang kemudian mengalir dari kedua matanya.
“Kitte kudasai ne, Rasuteri-san. Watashi-tachi ga kono issho no ma ni issho ni naru unmei ni sarete inai baai wa, — Dengarkanlah aku, Lastri. Jika kita tidak ditakdirkan untuk bersama di kehidupan ini,” Tadashi menghentikan kalimatnya dan menarik samurai yang dipegangnya dari dalam sarungnya. “Tashikani, wareware wa doko ka de, itsuka saikai suru koto ni naru. — Yakinlah, bahwa kita akan dipertemukan kembali, suatu hari nanti dan suatu tempat disana.” Pemuda itu tersenyum sebahagia mungkin di depan Lastri. “Selamat tinggal, Lastri. Aku akan selalu mencintaimu.”
Setelah kalimat terakhir Tadashi yang menggunakan bahasa Indonesia, pemuda itu melakukan harakiri pada dirinya sendiri dan tewas atas nama Indonesia. Lastri tak sadarkan diri setelah menyaksikan hal ini. Begitu Tadashi sudah kehilangan nyawanya, pihak Nippon terlihat sangat puas. Kemudian, bukannya menepati permintaan terakhir pemuda itu, pihak tanah airnya itu malah membumihanguskan bangunan-bangunan di desa itu, membantai satu persatu penduduk desa yang memberontak, dan menjual para perempuan muda berusia dibawah 30 tahun ke distrik merah atau yang lebih dikenal dengan Ian Jo (*rumah pelacuran). Lastri, Rangga, dan kedua orang tua mereka masing-masing setelah sepeninggal Tadashi langsung dibunuh oleh pihak Nippon. Nippon benar-benar memporak-porandakan desa itu; saking hancurnya sampai tidak ada lagi orang yang mengetahui bahwa desa itu pernah ada sebelumnya.
***
Tugas Bahasa Indonesia
Membuat Cerpen
“Tentang Cinta yang Tak Pernah Bisa Bersatu”
Nama : Indira Dwi Imara Kelas : X-7 No. Absen : 17
SMAN 103 JAKARTA Jl. Mawar Merah VI Perumnas Klender Malaka Jaya Duren Sawit
“Lastri, bapak pergi ke sawah dulu ya,” pamit seorang pria paruh baya dari ambang pintu rumah. “Ibu, ayo cepat, nanti kalau terlalu siang bisa-bisa panas,” lanjut pria itu, memanggil ibu Lastri.
“Ya, sebentar, pak,” ujar ibu Lastri sambil mencuci tangan. “Lastri, nanti tolong bawakan rantang ini dan teko minuman ke sawah setelah kamu membereskan rumah ya,” ujar ibu meminta tolong sebelum akhirnya berangkat ke sawah bersama bapak.
Lastri Utami--nama lengkap dari gadis itu--pun menyelesaikan pekerjaannya; memasak makanan untuk orang tuanya nanti dan melanjutkan pekerjaan rumah lainnya, seperti mencuci baju, menyapu, mengepel, dan menyetrika. Kurang lebih dua jam kemudian, dirinya telah menyelesaikan semua pekerjaannya dan berangkat ke sawah untuk mengantarkan rantang makanannya. Lalu, di tengah jalan, Lastri melihat kepala desa berjalan bersama dengan sekelompok orang yang terlihat asing. Orang-orang itu memakai mantel dan topi yang serba hitam. Walaupun gadis itu bertanya-tanya pada dirinya tentang identitas mereka, namun ia tidak berani untuk menyapa kepala desa dan menanyakannya. Oleh karena itu, ketika Lastri dan kelompok itu berjalan berpapasan, ia hanya berani menoleh secara diam-diam untuk melihat wajah mereka.
Tak disangka, pada saat yang bersamaan seorang pemuda bermata sipit dan berkulit putih yang merupakan bagian dari kelompok itu juga sedang menoleh ke arahnya. Mata coklat khas Indonesia milik Lastri bertemu dengan mata pemuda itu yang sipit dan juga berwarna coklat, namun lebih jernih dari miliknya. Jernih sekali warna matanya, sejernih warna air teh melati, pikir Lastri, terkesima dengan warna mata pemuda itu. Rambut coklat kayu manis miliknya terlihat terpotong dan tertata rapi di dalam topi hitam yang dikenakannya. Gadis itu terpaku ditempat menatapi pemuda itu sebelum akhirnya tersadar dan kemudian cepat-cepat mengalihkan pandangannya serta mempercepat langkahnya menjauhi kelompok itu.
Entah mengapa, jantungnya berdegup dengan tidak teratur setelah melihat pemuda itu. Ia tetap melangkahkan kakinya dengan cepat dan tak menghiraukan sekelilingnya. Dirinya terlalu sibuk menenangkan perasaannya sampai tak sadar bahwa ada seseorang yang telah memanggil-manggilnya sejak tadi.
“Hai Lastri!” Sebuah tangan meraih tangan Lastri. “Aku memanggilmu sejak tadi!”
Lastri berhenti dan menoleh ke arah suara itu. “E-eh, ah, Rangga, a-ada apa?” tanyanya kikuk.
Pemuda itu menghela nafas. “Aku memanggil-manggil namamu sejak tadi, kau tahu,” balas Rangga heran. “Kau ini, mengapa kau terlihat sangat gugup sekali di pagi hari seperti ini? Tidak seperti dirimu saja,” lanjut Rangga.
“E-eh? Benarkah?” tanya Lastri, antara bingung dan masih kikuk.
“Ya, Lastri, kau itu adalah sahabatku, jadi tidak mungkin aku tidak menyadari saat dirimu tidak bersikap seperti biasanya. Oh ya, kau mau ke sawah, bukan?” Rangga menunjuk ke arah rantang yang dibawa Lastri. “Kebetulan sekali, aku juga mau ke sawah orang tuaku. Mari kesana bersama!” ajak Rangga. Sawah orang tua Lastri dan Rangga bersebelahan. Oleh karena itu, gadis itu menyetujuinya dan akhirnya mereka pun berjalan ke sawah bersama-sama.
“Hei Lastri, mengapa hari ini kau tampak tidak seperti biasanya? Ceritakanlah padaku jika kau ada masalah, aku akan mendengarkanmu,” ujar Rangga membuka percakapan kembali. Ada sedikit nada khawatir yang dapat terdengar dari suara Rangga.
“Eh? Bukan sesuatu yang serius kok,” elak Lastri.
“Ayolah Lastri, kita sudah bersahabat sejak kecil, jadi janganlah kau menyimpan rahasia sendiri,” bujuk Rangga. Memang, Rangga merupakan sahabat Lastri sejak kecil, dimana mereka berdua akan saling membantu dan akan selalu bersama di setiap saat, jadi tidak heran bukan bila mereka terlihat sangat dekat. Selain itu, faktor yang menyebabkan kedekatan mereka adalah mereka yang sama-sama anak tunggal. Oleh karena itu, mereka sudah merasa seperti saudara sendiri terhadap satu sama lain.
Lastri menghela nafas. “Baiklah, aku akan menceritakannya.” Kemudian gadis itu menceritakan apa yang baru saja ia lihat; kepala desa yang berjalan bersama sekelompok orang asing serta seorang pemuda bermata coklat jernih sipit yang bertatapan dengannya dan menarik perhatiannya.
“Hm, sekelompok orang asing dan seorang pemuda bermata sipit, ya,” ucap Rangga.
“Ya, itu yang baru saja kulihat sebelum kau menghampiriku. Rangga, tahukah kau siapa mereka? Kupikir mungkin saja kau mengetahuinya karena kau adalah putra dari kepala desa,” tanya Lastri kemudian.
“Hmm… coba kuingat. Kemarin, ayah memang berkata bahwa akan ada yang mendatangi desa ini, namun ia tidak berkata siapa,” jawab Rangga. “Oh, mungkin orang-orang yang baru saja kau lihat itu mereka,” lanjut Rangga mengambil kesimpulan. “Yah, aku tak tahu pasti siapa mereka sebenarnya. Ah, bagaimana jika nanti kau ke rumahku saja sehabis dari sawah? Mungkin mereka masih berada di rumahku.”
“Oh, bolehkah?” tanya Lastri.
“Tentu saja, kau penasaran bukan terhadap mereka?”
“Ya, aku sangat penasaran. Terima kasih, Rangga,” ujar Lastri sambil tersenyum bersemangat. Melihat senyum gadis itu Rangga pun ikut tersenyum senang.
***
Sore harinya setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di sawah, Lastri pun berpamitan dengan petani lain untuk pulang bersama ibunya. Bapak Lastri sudah pulang lebih dahulu karena kepala desa memanggil pria paruh baya ini untuk ikut bersamanya. Sebelum gadis itu pergi meninggalkan area persawahan, Rangga menghampirinya untuk menanyakan apakah ia jadi untuk ke rumah pemuda itu guna melihat para orang asing tadi. Lastri menggangguk dan berkata ia akan pulang untuk membersihkan diri dahulu sebelum pergi. Kemudian Rangga berkata ia akan menjemputnya nanti dan mereka berdua pun pulang ke rumah masing-masing.
Saat Lastri dan ibunya berada di depan pintu masuk rumah, mereka dapat mendengar bapak sedang berbicara menggunakan bahasa asing yang sama sekali tidak bisa dimengerti oleh Lastri. Dengan penasaran, ibu dan anak ini pun masuk ke dalam rumah dan mendapati bapak sedang berbincang bersama seorang pemuda asing berkulit putih yang mempunyai badan khas tentara umumnya dengan tinggi sekitar 170 cm.
“Bapak, kami pulang,” ucap ibu Lastri saat bapak melihat mereka.
“Selamat datang,” sapa bapak dengan senyum. Saat bapak menyapa Lastri dan ibunya, pemuda yang sedang berbincang dengannya pun ikut menoleh ke arah mereka dan mata Lastri bertemu dengan mata pemuda itu. Mata pemuda itu berwarna coklat jernih, seperti pemuda yang ia temui tadi pagi. Melihatnya, gadis itu pun kaget dan jantungnya kembali berdegup tak karuan. ‘Sepertinya ia adalah pemuda yang berapapasan denganku tadi…’ gumamnya dalam hati sambil mencoba menyembunyikan kekagetannya.
“Ibu, Lastri, tolong buatkan minum untuk tamu kita,” pinta bapak. Kemudian ibu dan anak ini langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sang tamu minum.
“Karera wa dare desu ka, Adi-san? — Siapakah mereka itu, Pak Adi?” tanya pemuda itu sambil memperhatikan Lastri dan ibunya yang sedang berada di dapur.
“Aa, karera wa watashi no tsuma to musume desu, Tadashi-san. — Ah, mereka adalah istri dan putri saya, Tuan Tadashi,” jawab bapak.
“Aa, sou desu ka. — Ah, begitu ya,” balas pemuda itu, Tadashi Hiroshi, dengan singkat. Ia belum mengalihkan pandangannya dari Lastri dan ibunya—lebih tepatnya dari Lastri sejak tadi. Tadashi menyadari bahwa Lastri adalah gadis yang berpapasan dengannya tadi pagi dan entah untuk alasan apa, pemuda itu merasa sangat tertarik padanya. Beberapa saat kemudian, Lastri pun menghampiri mereka dan menyuguhkan dua gelas teh manis hangat dan sepiring kue basah tradisional.
“Saa, jibun de jitaku de kakuninshite kudasai, Tadashi-san. — Nah, silahkan anggap rumah sendiri, Tuan Tadashi,” ujar bapak mempersilahkan.
“Arigatou gozaimasu, Adi-san. Aa, amarini mo anata no okage de, ojou-san. — Terima kasih, Pak Adi. Ah, terima kasih juga kepada anda, nona,” balas Tadashi sambil tersenyum ke arah Lastri dan meminum tehnya. “Aa, tokoronde, hajimemashite, ojou-san. Watashi no namae wa Tadashi Hiroshi-desu. Dare ga anata wa ojou-san no desu ka? — Ah, ngomong-ngomong, salam kenal, nona. Nama saya adalah Tadashi Hiroshi. Siapakah nama anda, nona?” tanya pemuda itu kepada Lastri.
Lastri bingung bagaimana cara menjawab kalimat Tadashi. Ia tidak pernah sekalipun mempelajari bahasa yang digunakan pemuda itu. Akhirnya bapak angkat bicara setelah gadis itu terdiam dan terlihat bingung. “Lastri, pemuda ini bernama Tadashi Hiroshi. Ia berumur 24 tahun dan dirinya berasal dari Nippon (*Jepang). Ia akan tinggal disini karena suatu keperluan, mungkin dalam waktu lama. Lalu, Tadashi baru saja menanyakan namamu, nak,” ujar bapak menjadi penerjemah Tadashi.
“Oh, ah, err, nama saya Lastri Utami dan, uhh, anda bisa memanggil saya Lastri,” jawab Lastri, tidak yakin bahwa Tadashi dapat mengerti apa yang ia ucapkan.
Tadashi terlihat sedang berpikir, mencerna kata-kata yang baru diucapkan Lastri. “Aa, Rasuteri-san no desu ka? — Ah, Nona Lastri ya?” tanya pemuda itu, mengerti apa yang dikatakan Lastri.
Lastri menggangguk. “Ya, Lastri. Nama saya Lastri,” ujar Lastri sekali lagi sambil menunjuk dirinya.
“Hai, yoroshiku onegaishimasu, Rasuteri-san. — Ya, senang berkenalan dengan anda, Nona Lastri,” balasnya sambil mengulurkan tangannya dan Lastri menjabatnya sambil tersenyum ramah.
“Ibu, kemari sebentar,” panggil bapak dan beberapa saat kemudian ibu Lastri datang. “Tadashi-san, kore wa watashi no tsuma desu — Tuan Tadashi, ini istri saya,” ujar bapak memperkenalkan ibu.
Tadashi mengalihkan pandangannya ke ibu Lastri. “Anata wa Adi-san no tsuma dearu? — Apakah kau istri Pak Adi?” tanyanya.
“Hai, watashi no namae wa Amaria Rena desu ga, anata wa watashi ni Rena o yobidasu koto ga dekimasu. — Ya, nama saya adalah Amalia Lena, namun anda dapat memanggil saya Lena,” ujar ibu Lastri sambil tersenyum. “Yoroshiku onegaishimasu, Tadashi-san. — Senang berkenalan dengan anda, Tadashi-san.”
“Sou desu ka. Hai, amarini mo yoroshiku onegaishimasu, Rena-san. — Begitu ya. Baiklah, senang berkenalan dengan anda juga, bu Lena,” ucap Tadashi sambil berjabat tangan dengan ibu Lastri.
“Ah, ngomong-ngomong, Lastri, sebelum ini Tadashi-san berkata pada bapak bahwa ia ingin berkeliling desa sebelum matahari terbenam. Bisakah kau mengantarnya?” tanya bapak. “Ah ya, bapak harus mengingatkanmu, jangan lupa menambahkan kata –san di akhiran nama Tadashi ya, itu untuk kesopanan,” tambahnya.
“Oh, baiklah, pak. Err, aku bersedia pak, namun aku tidak mengerti bahasa yang dikatakan Tadashi-san. Nanti akan susah berkomunikasi bila aku yang mengantarnya…”
“Hmm, benar juga… Oh ya! Etto, Tadashi-san—“ Bapak bertanya sesuatu kepada Tadashi. Pemuda itu mengangguk, sepertinya ia menyetujui hal yang baru saja dikatakan pria paruh baya itu. “Nah, Lastri, Tadashi-san berkata bahwa ia tak apa bila kau memakai bahasa isyarat.”
“Bahasa isyarat?” Lastri terlihat menimbang-nimbang pilihan bapak. “Kurasa… aku bisa sedikit-sedikit. Baiklah aku mau menemani Tadashi-san berkeliling. Ah, tapi aku harus membersihkan diri dahulu. Tunggu sebentar ya,” ujar Lastri. “Ah, ibu, nanti jika Rangga datang kesini tolong katakan besok saja aku pergi ke rumahnya,” tambahnya dan kemudian ia pergi ke kamar mandi untuk mandi.
Sekitar setengah jam kemudian, Lastri selesai mandi dan kembali ke ruang tamu. “Bapak, aku sudah selesai,” ujar Lastri seperti melapor kepada bapaknya.
“Tadashi-san, Rasuteri-san wa o furo ni haitte shuuryou shita. — Tuan Tadashi, Lastri telah selesai mandi,” ujar bapak menyampaikan kembali ke Tadashi.
“Sore wa sou desu ka? Yoi kotoda, hai ikimashou. — Begitukah? Baguslah, mari kita pergi,” ujar pemuda itu sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Selamat sore dan permisi,” ujar sebuah suara dari depan pintu begitu Lastri akan berangkat meninggalkan rumah. “Lastri, kau ada di dalam?”
“Oh, Rangga? Tunggu sebentar. Err…” Lastri menoleh ke arah Tadashi. “Um, Tadashi-san, maukah-anda-menunggu-saya-sebentar?” tanya Lastri disertai dengan gerakan isyarat yang seharusnya selaras dengan apa yang dikatakannya, namun gagal. Tadashi menggeleng tidak mengerti dan mengikuti Lastri membukakan pintu untuk Rangga.
“Hei, Lastri, jadikah kau untuk— eh?” Kalimat Rangga terputus begitu melihat Tadashi berdiri disebelah Lastri. “Ah, selamat sore,” sapa Rangga dengan senyum. “Lastri, dia siapa?” tanyanya penasaran.
“Rangga, ini pemuda yang kukatakan berpapasan denganku tadi pagi. Namanya Tadashi Hiroshi dan ia berasal dari Nippon. Oleh karena itu, dirinya tak bisa berbicara bahasa kita,” jawab Lastri mengenalkan Tadashi.
“Sore de, anata wa dare ni naru no desu ka? — Dan, siapakah gerangan anda?” tanya Tadashi kepada Rangga.
“Aa, watashi no namae wa Rangga Putera desu ga, Rangga o yobidasu koto ga dekimasu, hajimemashite, Tadashi-san. Watashi wa Rasuteri-san no yuujin desu. Yoroshiku onegaishimasu. — Ah, nama saya Rangga Putra, anda dapat memanggil saya Rangga, salam kenal, Tadashi. Saya adalah teman Lastri. Senang berkenalan dengan anda,” balas Rangga memperkenalkan dirinya. Kemudian Tadashi dan Rangga pun saling berjabat tangan.
Lastri terbengong. “Tunggu, kau bisa berbahasa Nippon? Sejak kapan?” tanya Lastri tak percaya.
“Yah, aku tahu memang sulit dipercaya namun aku memang bisa sedikit-sedikit. Aku pernah mempelajarinya sebentar. Ngomong-ngomong, apakah kalian mau keluar? Anata-tachi wa soto ni iku no desu ka?” tanya Rangga ke Lastri dan Tadashi.
“Ya, bapak menyuruhku mengantarkan Tadashi-san berkeliling desa. Kau mau ikut, Rangga? Dengan adanya kau disini komunikasi akan lebih mudah,” ucap Lastri.
“Bolehkah aku ikut? Watashi ga kuru koto ga dekiru?”
“Mochiron! Ikimashou. — Tentu saja! Mari pergi,” jawab Tadashi.
“Baiklah. Ibu, bapak, kami pergi sebentar,” pamit Lastri sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah.
***
Hari demi hari pun berlalu. Seperti yang telah bapak Lastri katakan sebelumnya, Tadashi memang tinggal di rumah mereka dalam waktu cukup lama. Lastri dan Rangga sudah terbiasa dengan keberadaan pemuda itu. Terutama Lastri, gadis itu pun sudah bisa menggunakan bahasa isyarat untuk menggambarkan dengan benar apa yang ingin ia katakan pada Tadashi. Dibantu Rangga, dirinya pun mempelajari bahasa yang diucapkan Tadashi sedikit demi sedikit. Tadashi pun tak mau kalah ikut mempelajari bahasa mereka. Sesekali, para tamu bermantel dan bertopi hitam yang Lastri lihat berjalan bersama pemuda itu pada awal pertemuan mereka pun datang mengunjungi Tadashi. Kemudian mereka pasti akan langsung membicarakan sesuatu yang tidak dapat dimengerti oleh siapapun begitu bertemu.
Tinggal lama membuat Tadashi terlihat seperti sudah terbiasa dengan kehidupan di desa itu. Sesekali ia pun membantu pekerjaan ibu dan bapak Lastri di sawah. Menurut Lastri, pemuda ini pun terlihat lebih bersahabat dibandingkan ketika mereka baru pertama bertemu, dimana senyum yang ia pasang terlihat seperti senyum untuk kesopanan saja. Sekarang Tadashi menjadi lebih ramah dan semua orang menyukainya.
Satu hal yang tidak orang ketahui tentang dirinya; sebetulnya Tadashi adalah pemimpin dari kelompok perencana penjajahan Nippon yang sedang menyusun taktik untuk mengambil alih Indonesia dari Netherland (*Belanda) yang sedang memimpin saat itu. Ia datang ke desa ini guna menyelidiki sifat dan kemampuan bertarung dari para penduduknya serta hal-hal yang dapat dimanfaatkan oleh Nippon saat daerah ini sudah jatuh ke tangan mereka.
Orang-orang bermantel dan bertopi hitam yang datang bersama Tadashi pun merupakan bagian dari pasukan penyelidik Nippon. Mereka adalah bawahan pemuda itu; Kenpeitai (*polisi khusus) yang dibentuk Nippon untuk memperlancar penyelidikan Tadashi di Indonesia. Ternyata, diam-diam perasaan cinta terhadap Indonesia tumbuh di dalam Tadashi. Mulai dari keadaan alam tanah air, sifat dan sikap penduduknya, pemuda itu mulai mencintai semua itu. Terutama Lastri, perasaan cinta Tadashi terhadap gadis itu mulai bersemayam di hatinya, entah sejak kapan. Namun ia tidak berani menyatakannya oleh karena ia tidak ingin Lastri mengetahui siapa sebenarnya dirinya dan terbunuh karenanya.
Sebenarnya, Lastri juga memendam perasaan yang sama terhadap Tadashi. Jantungnya berdetak makin kencang saat pemuda itu berada di dekatnya. Gadis itu juga makin tak sanggup untuk melihat pemuda berambut coklat muda itu secara langsung dengan matanya. Lastri juga makin canggung dan makin susah berkata-kata ketika Tadashi bersamanya. Tentu saja Rangga menyadari hal ini dan sesungguhnya ia tidak menyukainya sedikit pun. Ternyata, diam-diam pemuda yang merupakan teman kecil gadis itu telah menyimpan perasaan padanya sejak dahulu.
Ketika ia mengetahui bahwa Lastri menyukai Tadashi, hatinya remuk seketika. Ia sempat tidak menunjukkan batang hidungnya selama beberapa hari sampai membuat Lastri khawatir dan akhirnya mengunjunginya bersama Tadashi. Dirumahnya itulah, saat sang pemuda Nippon sedang berada diluar, Rangga menyatakan perasaannya pada Lastri. Seperti yang sudah ia perkirakan, Lastri pun menolaknya. Mendengar ini pemuda itu hanya tersenyum dan bertanya apakah mereka masih dapat menjadi teman, lalu Lastri pun menjawab mereka akan mejadi sahabat selamanya. Secara tak sengaja, Tadashi mendengar perbincangan mereka saat akan masuk ke dalam rumah Rangga. Walaupun ia tidak terlalu mahir berbicara bahasa mereka, namun ia mengerti apa yang Lastri katakan dan hal ini membuatnya senang bukan main. Namun ia harus memendam perasaannya sebaik mungkin. Hal ini demi kebaikan Lastri juga.
Kembali ke negara asal Tadashi, Nippon, mereka tidak puas dengan kerja Tadashi yang mulai enggan membicarakan rencana-rencana pengambilalihan dan melapor hasil penyelidikannya. Mereka berasumsi pemuda itu mulai kehilangan keinginan untuk mengambil alih dan menjajah Indonesia karena mendapat pengaruh dari para penduduk Indonesia. Akhirnya, beberapa petinggi militer Nippon yang selalu memantau kerja Tadashi pergi meninggalkan negaranya dan datang ke Indonesia, mendatangi desa tempat penyelidikan pemuda itu. Mereka bertanya kepada kepala desa dimana Tadashi tinggal dan akhirnya mereka mendapati Tadashi sedang berbincang dengan Lastri di teras rumah.
“Tadashi Hiroshi-san!” seru salah satu dari mereka.
Tadashi menoleh karena mendengar namanya dipanggil oleh suara familiar dan ia pun kaget. Secepatnya ia menghampiri mereka dan melakukan saikerei (*membungkuk menghadap matahari terbit). “Fukuyama-ippan? Hidetoshi-taishou? Kageyama-gunshou? Watashi wa anata ga koko ni iru nani no bijinesu o motomeru koto ga dekiru? — Jendral Fukuyama? Laksamana Hidetoshi? Sersan Kageyama? Boleh saya bertanya alasan mengapa anda semua ada disini?” tanya Tadashi sopan.
“Anata! Anata wa sono you na jimoto no onna noko to oshaberi o nani o shite iru! Anata wa koko de okonau koto ni natte iru no ka oboete inai?! — Kau! Apa yang kau lakukan berbincang dengan gadis pribumi seperti itu! Tidakkah kau ingat apa yang seharusnya kau lakukan disini?!” bentak salah satu dari mereka, Laksamana Hidetoshi.
“Hai, oboete imasu. Shikashi, anata wa wareware ga kore o okonau koto ni natte inai koto to wa omowanai? — Ya, saya ingat. Namun, tidakkah anda berfikir bahwa kita tidak seharusnya melakukan hal ini?” ujar Tadashi lagi.
“Nan nansensu ni tsuite ohanashi shite iru! Wareware wa kono kuni kara dekiru dake hayaku nezaarando o torinozoku tame ni hitsuyou ga aru! — Omong kosong apa yang kau bicarakan?! Kita harus merebut negara ini dari Belanda!” bentak salah satu dari mereka lainnya, Jendral Fukuyama.
Kemudian Tadashi kembali mengelak setiap kali dipaksa untuk melanjutkan penyelidikannya. “Anata wa mou watashi-tachi ni kyouryoku shitakunai baai wa hijou ni yoku, sore wa daijoubu desu. Shikashi, kore o oboete, wareware wa koko ni anata no saiai no mono no anzen-sei o hoshou suru monode wa arimasen. — Baiklah, bila kau sudah tidak ingin bekerja sama dengan kami lagi, tak apa-apa. Namun, kami tidak dapat menjamin keselamatan orang-orang yang kau kasihi disini,” ancam orang ketiga dari mereka, Sersan Kageyama. “Tokuni, kanojo ni mukete — Terutama, terhadapnya.” Pria itu mengarahkan telujuknya ke belakang; ke arah Lastri seraya berkata demikian. “Sore o oboete iru, Tadashi-san — Ingatlah itu, Tadashi.” Kageyama mengultimatum Tadashi sebelum akhirnya mereka bertiga pergi dari tempat itu.
***
Tadashi bimbang mendengar ultimatum dari para seniornya itu. Ia memang ditugasi untuk menyelidiki Indonesia namun dirinya tak pernah menyangka bahwa ia akan jatuh cinta kepada bangsa yang akan dikuasai oleh negaranya. Sekarang, cintanya kepada Indonesia sudah lebih besar daripada cintanya terhadap Nippon, namun pemuda itu tetap menaruh hormat besar pada negaranya. Selain itu, ia tidak ingin tanah airnya menguasai dan bertikai dengan Indonesia yang sudah ia anggap sebagai tanah airnya yang kedua. Akhirnya, setelah berfikir berhari-hari, Tadashi pun bertekad dengan kuat untuk memihak pada Indonesia guna mencegah penguasaan terjadi.
Tadashi mengumpulkan pasukan yang bisa ia dapatkan dan menginformasikan semua yang ia tahu kepada warga desa dengan dibantu oleh kepala desa yang sudah diberi tahu lebih dahulu olehnya. Pada awalnya semua warga desa marah besar setelah mendengar perkataan pemuda itu, namun amarah mereka pun cepat reda, digantikan dengan tekad untuk menghentikan rencana Nippon. Sebelum Tadashi memberitahu warga, orang pertama yang ia beritahu tentang semuanya adalah Lastri. Gadis itu hanya tersenyum saat mengetahuinya dan berkata, ‘Janganlah kau mati lebih dulu daripadaku’ sambil menyemangati Tadashi untuk melaksanakan rencananya. Disaat itulah, Tadashi memberanikan dirinya untuk menyatakan perasaannya terhadap Lastri. Mendengar pengakuan Tadashi, gadis itu terkejut bercampur dengan perasaan bahagia bukan main.
“Kono subete ga owattanode, watashi to kekkon suru. — Menikahlah denganku begitu semua ini berakhir,” ujar Tadashi melamar Lastri. Gadis itu mencoba mencerna kata-kata Tadashi dan kaget bukan main ketika mengetahui maksudnya. Spontan ia memeluk pemuda itu dan menerima lamarannya dengan perasaan sangat bahagia.
Di sisi lain, pihak Nippon yang telah memasang mata-mata di desa itu tahu akan rencana yang dibuat mantan pemimpin penyelidikan negara mereka itu. Tentu saja, setelah mendengar hal ini mereka marah besar. Tiga petinggi militer Nippon yang masih berada di Indonesia, Jendral Fukuyama, Laksamana Hidetoshi, dan Sersan Kageyama pun mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan desa itu bersama orang-orangnya di dalamnya.
Pertempuran yang terjadi sangatlah sengit namun tidak berimbang, karena persenjataan yang dimiliki pasukan pihak Nippon lebih lengkap, lebih canggih, dan lebih banyak dibandingkan dengan milik tanah air. Tak makan cukup waktu yang lama, pihak Nippon terlihat seperti sudah memegang kemenangan di tangan mereka.
“Heishi-tachi wa, hi o tomeru! — Semua pasukan, berhenti bertempur!” perintah sebuah suara dari pihak Nippon. Semua orang yang mendengar suara itu berhenti bertempur dan mencari-cari asalnya. “Minna-sama, kitte kudasai! — Semuanya, tolong dengarkan!” Kemudian Hidetoshi menampakkan dirinya dari belakang pihak Nippon. “Watashi-tachi wa anata no subete no tame no teian o motte iru. Wareware wa hitotsu no jouken de wa, kono fu kin itsuna sentou o teishi shimasu. — Kami mempunyai sebuah penawaran untuk kalian. Kami akan menghentikan perang yang tidak seimbang ini dengan satu syarat.” Hidetoshi terdiam sebentar. “Tadashi-san wa watashi-tachi ni jibun jishin o houki suru hitsuyou ga arimasu! — Tadashi harus menyerahkan dirinya kepada kami!”
Semua orang yang mengerti apa yang mereka katakan menjadi heboh. Tadashi yang sejak tadi menyusun strategi agar mereka menang dengan ditemani Lastri kembali bimbang untuk kedua kalinya. Sudah jatuh banyak korban dari pihak Indonesia, jadi tidak mungkin mereka dapat memenangkan pertempuran ini. Dengan berat hati, pemuda itu harus menyerahkan dirinya kepada pihak Nippon. Lastri melarangnya dan ia hanya membalas larangan gadis itu dengan senyuman pahit serta satu kecupan di dahinya sebelum akhirnya melangkahkan kakinya ke arah pihak Nippon. Lastri yang mengejar Tadashi dihentikan oleh tentara yang berjaga di depan barisan para petinggi militer.
“Watashi wa koko ni imasu. — Saya sudah disini,” ucap Tadashi dengan lantang dan dibuat sesantainya saat berada tepat di depan para petinggi militer Nippon. “Anata-tachi wa watashi kara nani ga hitsuyou na no deshou ka? — Apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya pemuda itu.
Kemudian Fukuyama melemparkan sebilah samurai yang masih tertutup sarung kepada Tadashi. “Sore o jibun de korosu. — Bunuhlah dirimu dengan itu,” ujarnya singkat. Tadashi terdiam, ia hanya menatap samurai itu lekat-lekat.
“Anata wa ikiru ni ataishimasen! Anata wa watashi-tachi no kuni no goukei haji desu! — Kau tak pantas untuk hidup! Kau adalah aib terbesar negara kita!” tambah Kageyama.
“Ima harakiri o okonau. Tanin no tame ni jibun no jinsei o gisei ni suru. — Lakukan harakiri (*bunuh diri ala samurai Jepang). Korbankanlah nyawamu untuk menyelamatkan nyawa orang lain,” perintah Hidetoshi.
Tadashi masih terdiam. “Ii, watashi wa harakiri o suru tsumori desu. Shikashi, anata wa mada ikite iru to, karera ga heiwa no uchi ni seizon sa se, hitobito o tebanasu koto o yakusoku shinakereba naranai. — Baiklah aku akan melakukan harakiri. Namun, kalian harus berjanji akan melepaskan warga yang masih hidup dan membiarkan mereka hidup dengan tenang,” ujar Tadashi, membuat satu permintaan terakhir.
“Sore wa watashi-tachi no tame ni sasaina mondai desu. — Hal itu adalah masalah sepele untuk kami,” balas Fukuyama.
Tadashi tersenyum dan kemudian berbalik arah terhadap Lastri. “Rasuteri-san, gomennasai ne. Sore wa watashi no yakusoku wa eien ni anata to issho ni tamotsu koto ga dekinai you desu. — Lastri, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa menepati janjiku untuk bersamamu selamanya,” ucap Tadashi dengan senyuman pahit pada Lastri.
“Tadashi-san, mo shinaide kudasai! — Tadashi, kumohon jangan lakukan!” seru Lastri dengan air mata yang kemudian mengalir dari kedua matanya.
“Kitte kudasai ne, Rasuteri-san. Watashi-tachi ga kono issho no ma ni issho ni naru unmei ni sarete inai baai wa, — Dengarkanlah aku, Lastri. Jika kita tidak ditakdirkan untuk bersama di kehidupan ini,” Tadashi menghentikan kalimatnya dan menarik samurai yang dipegangnya dari dalam sarungnya. “Tashikani, wareware wa doko ka de, itsuka saikai suru koto ni naru. — Yakinlah, bahwa kita akan dipertemukan kembali, suatu hari nanti dan suatu tempat disana.” Pemuda itu tersenyum sebahagia mungkin di depan Lastri. “Selamat tinggal, Lastri. Aku akan selalu mencintaimu.”
Setelah kalimat terakhir Tadashi yang menggunakan bahasa Indonesia, pemuda itu melakukan harakiri pada dirinya sendiri dan tewas atas nama Indonesia. Lastri tak sadarkan diri setelah menyaksikan hal ini. Begitu Tadashi sudah kehilangan nyawanya, pihak Nippon terlihat sangat puas. Kemudian, bukannya menepati permintaan terakhir pemuda itu, pihak tanah airnya itu malah membumihanguskan bangunan-bangunan di desa itu, membantai satu persatu penduduk desa yang memberontak, dan menjual para perempuan muda berusia dibawah 30 tahun ke distrik merah atau yang lebih dikenal dengan Ian Jo (*rumah pelacuran). Lastri, Rangga, dan kedua orang tua mereka masing-masing setelah sepeninggal Tadashi langsung dibunuh oleh pihak Nippon. Nippon benar-benar memporak-porandakan desa itu; saking hancurnya sampai tidak ada lagi orang yang mengetahui bahwa desa itu pernah ada sebelumnya.
***
Tugas Bahasa Indonesia
Membuat Cerpen
“Tentang Cinta yang Tak Pernah Bisa Bersatu”
Nama : Indira Dwi Imara Kelas : X-7 No. Absen : 17
SMAN 103 JAKARTA Jl. Mawar Merah VI Perumnas Klender Malaka Jaya Duren Sawit